Jakarta – Dua perusahaan minyak multinasional asal Amerika Serikat (AS) yakni Chevron dan ExxonMobil dikabarkan akan merger atau menggabungkan dua perusahaan. Kabarnya, CEO Chevron Michael Wirth dan CEO Exxon Darren Woods telah berbicara tentang prospek kedua perusahaan setelah pandemi COVID-19 yang sangat membuat harga minyak dunia babak belur.
Dilansir CNBC, Senin (1/2/2021), kabar itu pertama diberitakan oleh The Wall Street Journal yang mengutip seseorang yang mengetahui pembicaraan antara kedua CEO perusahaan tersebut. Namun, orang itu enggan disebutkan namanya.

Untuk saat ini, pembicaraan memang tidak sedang berlangsung. Pertemuan antara Wirth dan Woods digambarkan sebagai sebuah pendahuluan dari rencana merger itu. Namun, perwakilan dari kedua perusahaan menolak berkomentar.

Apabila rencana itu terwujud, maka akan menjadi salah satu merger terbesar dalam sejarah. Oleh sebab itu, kemungkinan penggabungan itu menjadi aksi korporasi yang akan menghadapi pengawasan antitrust dari Departemen Kehakiman di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

Perlu diketahui, Chevron dan Exxon adalah perusahaan turunan dari Standard Oil Company yang didirikan oleh John D. Rockefeller. Dilansir CNN, perusahaan tersebut dibubarkan oleh Supreme Court pada tahun 1911 karena dinyatakan sebagai bentuk monopoli ilegal. Kala itu, Standard Oil Company merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia, yang menjadikan John D. Rockefeller sebagai pebisnis terkaya dan terkemuka pada masanya.

Kapitalisasi pasar Chevron ialah sebesar US$ 164 miliar atau setara Rp 2.229 triliun (kurs Rp 14.022), dan Exxon sebesar US$ 189 miliar atau setara Rp 2.650 triliun. Dengan demikian, maka kapitalisasi pasar dari perusahaan gabungan itu diprediksi mencapai US$ 350 miliar atau setara Rp 4.908 triliun.

Kemudian, perusahaan gabungan itu akan menjadi produsen minyak dan gas (migas) terbesar kedua di dunia setelah Saudi Aramco.

Sumber : Detikcom